BOGOR, Kobra Post Online – Rencana Kota Bogor membangun semacam Pusat Kebudayaan dengan biaya cukup besar itu tentu suatu hal yang positif. Teristimewa lokasi Pusat Kebudayaan yang diberi nama Bumi Ageung itu berlokasi di kawasan pusaka dan kabuyutan Batutulis.
Rencana pembangunan Bumi Ageung sejak awal memang sudah tersandung masalah besar yang tak termaafkan, karena tiada upaya melibatkan potensi dan aset budaya yang dimiliki Kota Bogor. Termasuk didalamnya adalah para pakar dibidang kebudayaan: Sejarawan, Arkeolog, Arsitek, Epigraf, Sosok sosok sesepuh Kota Bogor.
Jadi, jika kemudian hasil perancangan dan perencanaan tidak menceminkan jati diri Kasundaan dan jati diri Sunda Pajajaran memang sudah diprediksi.
Tak hanya berhenti sampai di sini, desain keseluruhan dari perencanaan itu justru menghadirkan unsur budaya yang tidak ada kaitannya dengan unsur budaya khas Sunda. Malah mengimpor wujud dan bentuk dari alam Jawa, berupa tata rupa dan tata bentuk Candi Bentar, kompleks percandian Trowulan Majapahit.
Padahal urang Sunda sejatinya memiliki konsep budaya luhur menyangkut tata ruang, padumukan, leuit, imah, buruan atau pekarangan, alam lingkungan, tanaman dan toponim. Terkait morpologi padesaan yang semuanya telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari urang Sunda.
Baca juga: Polemik Pembangunan Bumi Ageung Batutulis
Saya sependapat dengan Putra Sungkawa bahwa desain bangunan yang rencananya akan berdiri itu akan melibatkan aspek yang bersifat kelangenan atau rekreasi. Tentu tak sesuai dengan lokasi dan lingkungan atau kawasan yang sakral dan penuh makna seperti halnya Batutulis. Jika memang akan dibangun pusat budaya Sunda, fungsi utama harus mengacu kepada kegiatan yang bersifat kebudayaan pula dan tidak campur aduk antara taman rekreasi dengan giat budaya.
Salah satu wujud dari arsitektur adat sunda adalah sistem rumah panggung dengan bentuk atap limasan, berhalaman luas di muka, samping dan belakang rumah panggung tersebut. Juga arah hadap atau orientasi bangunan yang menangkap cahaya matahari pagi.
Keindahan wujud arsitektur tradisional Sunda bisa dibentuk oleh struktur dan konstruksi bangunannya. Sebuah contoh yang menarik adalah tampilan bentuk bangunan aula barat dan timur kampus Institut Teknologi Bandung karya rancangan arsitek orang Belanda Ir. Henri Maclaine Pont.
Baca juga: Pemkot Bogor Ajak Kemendikbud Ristek Menata Kawasan Batutulis
Sang arsitek tak hanya mampu memadukan berbagai unsur dan bentuk. Namun juga dalam hal pemilihan bahan bangunan berupa kayu pilihan, atap sirap dan gaya bangunan yang tak hanya menyerap dari sumber utama lingkungan alam Pasundan. Namun juga dari beberapa sumber lain alam Nusantara, seperti Batak, Padang dan Nias.
Apakah hal-hal nyata dari kehidupan urang Sunda sehari-hari dan kekayaan bentuk arsitektur yang begitu kaya dengan filosofis yang mendasarinya itu tak mampu hadir dalam sebuah rancangan bangunan Pusat Kebudayaan Bumi Ageung Batutulis? Semestinya bisa terserap, karena semuanya ada dan mudah dicari disetiap peloksok pedesaan Sunda.