Satu hal lagi yang patut menjadi bahan pemikiran Pemerintah Kota Bogor adalah tata letak Kawasan Pusaka Batutulis.
Membangun Pusat Kebudayaan Bumi Ageung di kawasan pusaka Batutulis seyogianya menyelaraskan dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Kawasan tersebut memiliki topografi yg sangat strategis ke arah pandang Gunung Salak dan Sungai Cisadane. Ada lembah, tebing, bukit, situs-situs dari masa Pajajaran dan kolonial. Tak jauh dr Bumi Ageung Batutulis, hadir sebuah bangunan warisan Bung Karno, Hing Puri Bimasakti, yang dirancang oleh arsitek F. Silaban dn Sudarsono.
Bangunan yg memiliki citra arsitektur tropis dengan bentuk atap limasan, pekarangan luas dan keteduhan pohon pohon rindang, merupakan unsur yang sangat mendukung Pusat Kebudayaan Sunda Pajajaran Bumi Ageung Batutulis.

Baca juga: Desa Batutulis Nanggung Luncurkan Program Ketahanan Pangan di Bidang Perikanan
Akhirnya terkait pembangunan Pusat Kebudayaan Sunda Bumi Ageung Batutulis, saya ajukan usulan dan masukkan sebagai berikut :
1. Tinjauan lokasi dan tapak
Kawasan Pusaka Batutulis yang banyak memiliki tinggalan artefak budaya dan sejarah Sunda Pajajaran merupakan lokasi yang paling tepat untuk dibangun sebuah pusat kebudayaan Sunda. Yang patut menjadi bahan pertimbangan dan kendala adalah lahan kawasan itu tidak memiliki ruang yang cukup untuk parkir, khusunya roda empat. Kawasan padat antara Sukasari-Cipaku dan Empang.
2. Tinjauan massa bangunan
Atas dasar pemikiran keadaan lahan, maka rancangan bangunan dengan konsep multi fungsi itu benar benar memusatkan kepada fungsi yang paling utama. Massa bangunan lain seperti utuk kegiatan yang sifatnya rekreasi sebaiknya ditiadakan.
3. Tinjauan bentuk arsitektural
Bahwa masing-masing masyarakat di Indonesia memiliki tipe rumah tradisional yang unik dibangun berdasarkan tradisi-tradisi arsitektural vernakular danlanggam bangunan tertentu.
Demikian halnya dengan arsitektur tradisional Sunda yang hingga kini masih dapat kita saksikan di beberapa kawasan di Tatar Sunda dan di Banten. Antara lain Kampung Urug di Bogor, Kampung Naga di Tasikmalaya-Garut, Kampung Palasah di Majalengka. Semuanya masih hidup di tengah-tengah masyarakat dan berdampingan dengan perkembangan teknologi digital saat ini.
Sebuah usulan, membangun sarana untuk memampung kegiatan budaya dengan pendekatan arsitektur tradisional Sunda tidak perlu menampilkan bangunan setara dengan bentuk sebuah keraton. Membangun arsitektur tradisional Sunda yangg merakyat dan milik rakyat seyogianya beranjak dari konsep budaya yang paling sederhana. Haruskah mengambil unsur budaya dari luar Kesundaan hanya sekedar menampilkan ciri Sunda Pajajaran dengan mengambil dan memasukkan sebuah pintu gerbang mencomot dari Candi Bentar?.