Kobra Post Online – Mengapa negara-negara kecil seperti Brunei dan Singapura yang luas wilayahnya sempit dan jumlah penduduknya jauh lebih sedikit mampu mencapai GDP per kapita yang tinggi? Mengapa Malaysia yang secara geografis dan budaya tak jauh berbeda dari Indonesia juga mampu lebih cepat melesat? Sementara Indonesia, negeri yang kerap disebut Zamrud di Khatulistiwa, dengan segala kelimpahan sumber daya alam dan manusianya, justru masih bergulat dengan kesenjangan dan stagnasi kesejahteraan?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dari satu sudut pandang saja. Kita harus melihat lebih dalam ke dalam jantung persoalan yaitu pola pikir dan budaya kolektif kita sebagai bangsa. Sebab pada akhirnya, pemimpin adalah cermin dari rakyatnya. Pola pikir pemimpin tidak akan jauh-jauh dari pola pikir rakyatnya.
Sumber daya alam yang melimpah bukanlah jaminan kesejahteraan jika tidak dikelola dengan visi dan integritas. Demikian pula jumlah penduduk besar bisa menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi beban jika tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan dan karakter bangsa yang kokoh.
Indonesia tidak kekurangan pemimpin cerdas. Yang langka adalah pemimpin yang berani, membumi, mencintai rakyat dan alamnya tanpa syarat, serta teguh memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Sosok seperti Dedi Mulyadi, yang muncul dari tanah Pasundan, memberi harapan baru.
Ia tidak hanya menyentuh persoalan rakyat dengan hati, tetapi juga menanamkan nilai-nilai budaya dan spiritualitas dalam kepemimpinannya. Tak heran, kini harapan terhadapnya melampaui batas wilayah Jawa Barat. Banyak masyarakat dari daerah lain pun mendambakan pemimpin dengan keteladanan serupa.
Baca juga: Selintas Sejarah Penemuan Situs Bunker di Kawasan Bogor Selatan
Namun kita harus sadar: sebesar apa pun harapan pada seorang pemimpin, tidak akan berarti tanpa perubahan pola pikir rakyatnya sendiri. Rakyat yang berpikir jernih, peduli lingkungan, dan menolak politik uang akan melahirkan pemimpin yang kuat dan visioner.
Indonesia tidak sedang kekurangan potensi, yang kurang adalah kesadaran kolektif untuk bangkit secara bersama. Semoga semangat dan keteladanan yang lahir dari Pasundan bisa menjadi lentera bagi seluruh Nusantara.
“Kesadaran kolektif untuk bangkit bersama” adalah kunci. Ia bukan sekadar harapan, tapi panggilan jiwa bangsa agar kembali menemukan jati dirinya yang sejati: gotong royong, welas asih, dan tangguh dalam menghadapi zaman.