Kobra Post Online – Sejarah perkreta-apian di Indonesia dimulai dengan pencangkulan pertama pembangunan rel kereta api di Desa Kemijen, Semarang pada 17 Juni 1864 dan dibuka pada 10 Agustus 1867. Rute pertama yang dilayani adalah dari Kemijen menuju Tanggung sepanjang 26 Km dengan lebar sepur 1,435 mm.
Table of Contents:
Pembangunan ini diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NVNISM)”, yang dipimpin oleh J.P. Bordes. Prof. Denys Lombard di dalam bukunya yang nyaris sebuah ensiklopedi, “Le Carrefour Javanais”, menulis bahwa, Raja Siam Chulalongkorn datang untuk mengaguminya, dalam kunjungan ke Jawa pada tahun yang sama.
Sejarah Jalur Rel Kereta Api
Selanjutnya transportasi kereta api jalur Batavia-Buitenzorg, mulai stasiun Kota/Beos, Sawah Besar, Pintoe Air, Gambir, Pegangsaan, Djatinegara, Pasar Minggoe, Lenteng Agoeng, Pondok Tjina, Depok, Tjitayam, Bodjong Gedeh, Tjilebut dan berakhir di Buitenzorg, selesai pada akhir 1869 dan dibuka pada awal 1873.
Dilanjutkan jalur Buitenzorg-Tjitjurug sepanjang 27 Km melewati Batoetoelis, Maseng, Tjigombong dan Tjitjurug, dibuka pada 5 Oktober 1881. Dan jalur Buitenzorg-Soekaboemi melewati Paroengkoeda, Tjibadak, Karangtengah, Tjisaat dan berakhir di stasiun Soekaboemi, dibuka pada 21 Maret 1882.
Sejarah perjalanan jalur kereta api Bogor-Sukabumi mengalami pasang surut seiring perkembangan ekonomi, sosial dan kependudukan. Tahun 2006 tercatat pengoperasian KA Bogor-Sukabumi tersebut dihentikan, tanpa kejelasan.
Syukurlah tujuh tahun kemudian, pada November 2013 jalur Bogor-Sukabumi dihidupkan kembali menyusul pada Februari 2014 jalur Sukabumi-Cianjur.
Rute ini sangat membantu mengurai macet di jalur Ciawi-Sukabumi yang padat dan buruk kondisi jalannya. Pembukaan jalur kereta api ini disambut positif warga yang selama ini mengandalkan angkutan penumpang jalan raya.
Adapun jalur rel kereta api Sukabumi-Cianjur merupakan bagian jalur utama kereta yang mengubungkan Jakarta Bogor-Bandung. Jalur ini dibangun tahun 1883-1884 oleh perusahaan kereta Pemerintah Hindia-Belanda, Staatspoorwagen.
Jalur yang menjadi jantung distribusi mengangkut hasil bumi teh, kopi dan kina ke pelabuhan di Batavia. Jalur ini pula menjadi jalur utama KA dari Jakarta-Bogor-Bandung sebelum jalur Cikampek selesai dibangun tahun 1906.
Baca juga: Kisah “Tangga Gendeng” di Jalan Rangga Gading Bogor Tengah
Dampak Pembangunan Jalur Rel Kereta Api Ganda
Perkembangan penting dunia perkeretapian di Indonesia, khususnya di Jawa Barat adalah dibangunnya jalur kereta api ganda Bogor-Sukabumi, yang akan diuji cobakan pada akhir bulan Maret 2022.
Pembangunan infrastruktur jalur rel kereta api ganda Bogor-Sukabumi tentu akan berdampak positif pada sisi yang satu dan mungkin akan memberi dampak negatif di sisi lainnya.
Dampak positifnya tentu akan terkait dengan berkurangnya kemacetan pada jalur-jalur tertentu, waktu tempuh perjalanan akan lebih cepat dan nyaman. Tak hanya itu, pembangunan rel ganda berdampak pada geliat perekonomian kedua kota tersebut ikut bergairah dan berkembang.
Namun tak bisa dipungkiri, pembangunan rel kereta api ganda ini berdampak pada aspek kelestarian dan keberadaan nilai-nilai sejarah dan kepusakaan berupa artefak budaya dan situs-situs, baik yang terkubur di dalam tanah jalur rel kereta api, maupun disinyalir ada di areal sekitar atau sisi-sisi jalur rel.
Bangunan Cagar Budaya
Selain situs-situs tinggalan budaya masa Klasik/ Kerajaan Pajajaran, di tepi jalur rel kereta api itu juga dijumpai bangunan dan struktur bangunan cagar budaya tinggalan masa Kolonial.
Saleh Danasasmita, budayawan dan penulis buku Sejarah Bogor (1983), secara rinci menelaah tentang Jaman Pajajaran yang terkait dengan keberadaan jalur rel kereta api Bogor-Sukabumi.
Khusus menyangkut Prasasti Batutulis antara lain diterangkan lokasi parit dan benteng pertahanan Pakuan Pajajaran pada jalur kereta api Bogor-Sukabumi, ia menulis :
“Di kampung Lawang Gintung benteng ini bersambung dengan benteng-alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur kereta api sampai di tebing Cioakancilan setelah melewati lokasi jembatan Bondongan…”
Di dalam buku lain, “Prabu Siliwangi, Perspektif Sejarah”, Kang Saleh juga menulis tentang jalur kereta api tersebut. Bahwa “panjang parit Pakuan yang dibuat oleh Suliwangi itu kira-kira 3 kilometer sepanjang tebing Cisadane. Sekarang dasar parit Pakuan itu menjadi jalur rel kereta api antara Bogor-Sukabumi”.
Baca juga: Anggota KKP Kritisi Bima Arya Soal Menjaga Warisan Pusaka
Keterangan Kang Saleh Danasasmita menyangkut hubungan antara tinggalan sejarah Kerajaan Pajaraan dengan jalur kereta api, seyogianya harus menjadi perhatian Pemerintah Kota Bogor. Khusus Bidang Kebudayaan Disparbud yang tugas pokok fungsinya terkait dengan aspek kesejaraahan.
Bahkan dalam hal ini Dinas terkait diwajibkan mendokumentasikan tinggalan budaya dan benda cagar budaya jika terjadi kerusakan yang menyebabkan hilang atau berubahnya wujud tinggalan budaya dari yang asli.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 11/2010 Tentang Cagar Budaya, pada bagian kedua tentang Situs dan Kawasan, Pasal 9, memuat bahwa lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila :
- Mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya dan/ atau Struktur Budaya, dan
- Menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
Jika kita mengacu kepada bunyi Pasal 9 tersebut, maka sangat disayangkan seandainya Pemerintah Kota Bogor tidak berupaya ikut melestarikan lokasi lokasi yang memiliki situs-situs bersejarah.
Yang sejatinya terkait dengan sejarah perkembangan Kota Bogor, juga menyimpan informasi kegiatan manusia alias warga atau penduduk Kota Bogor pada masa Klasik.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga ikut bertanggung jawab atas musnahnya situs-situs dan artefak budaya tinggalan masa Kerajaan Pajajaran. Jika sejarah Kota telah hilang, maka akan hilang pulalah identitas dan harga diri Kota bersangkutan.
Ketika Pemerintah Hindia-Belanda membangun jalur rel kereta api, baik di Jawa, maupun di luar Jawa, tak hanya jalur rel semata. Juga dibangun prasarana dan sarana pendukungnya. Dibangunlah jembatan, stasiun, bangunan rumah tinggal karyawan/ mess rumah dinas, gudang, monumen, pertamanan, bengkel lok, alarm, dan berbagai sarana penunjang yang lain.
Bangunan-bangunan itu tentu memiliki nilai sejarah terkait aspek arsitektural, struktural, material, konstruksi, nilai-nilai estetika bangunan dan tak bisa dilewatkan sejarah ilmu teknik dan rekayasa industrial masa itu.
Baca juga: Satyawati Suleiman, Arkeolog Perempuan Pertama di Indonesia
Jika kita menyelusuri rel ganda dalam kawasan administratif Kota Bogor, maka titik mula ada di Stasiun Paledang sampai di titik Stasiun Batutulis. Tinjauan secara fisik jalur tersebut tak ada artinya jika dibandingkan dengan jalur keseluruhan Bogor-Sukabumi.
Namun secara fisik kultural memiliki nilai sejarah yang amat penting. Tak hanya tinggalan budaya dan sejarah masa Pajajaran, juga terkait dengan tinggalan masa Kolonial.
Beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dan menjadi PR besar Dinas Pariwisata Kota Bogor adalah perlunya melakukan pendataan dan sekaligus pendokumentasian hilangnya Cagar Budaya.
Dalam arti Cagar Budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.
Sepanjang jalur rel kereta api dari Stasiun Pledang sampai Halte Batutulis tercatat bangunan cagar budaya berupa jembatan, saluran air dan kawasan yang dapat dikategorikan sebagai kawasan pusaka terkait sejarah kota Bogor.
Bangunan cagar budaya dimaksud antara lain Rumah Dinas milik PT KAl, yang berlokasi tepat di depan Stasiun Bogor Paledang.
Bangunan bergaya Indis itu memiliki keunikan pada bentuk atapnya dengan hiasan kemuncak khas rumah tinggal Eropa, ketinggian struktur bangunan, jendela dan pintu, markis pada bagian atas pintu dan jendela, lantai dengan motif hias pada rumah-rumah orang Belanda.
Tinggalan masa Kolonial selain rumah tinggal, terdapat saluran air yang bahan struktur bangunannya dari bata merah, sama dengan saluran air yang ditemukan di Jalan Raja Permas, dekat Stasiun Bogor. Bangunan semacam itu terkait dengan drainase kota, infrastruktur dan jaringan rel kereta api.
Contoh yang bagus adalah sebuah saluran air di Bojongneros, di belakang Kantor Pajak. Saluran air tersebut dibangun seiring dengan pembangunan jalur kereta api Bogor-Sukabumi, tahun 1881.
Jembatan Tanjakan Empang Tinggal Nama
Tidak jauh dari lokasi saluran air di bawah rel tersebut, atau sering disebut gonggo, terdapat sebuah jembatan yang dikenal dengan jembatan Tanjakan Empang.
Kini tinggal nama, jembatan lama yang penopang landasan rel di kiri dan kanannya berupa struktur batu kali sudah hilang, diganti oleh struktur beton bertulang. Kini kita tak bisa lagi menyaksikan rekayasa teknologi pembuatan saluran air dan jembatan masa awal abad ke -19.
Dari jembatan Tanjakan Empang sampai Kawasan sekitar Gunung Gadung, ada dua jembatan yang perlu dicatat sebagai situs bersejarah yaitu yang dikenal Jembatan Bondongan dan Jembatan Pamoyanan.
Dari segi kesejarahan masa klasik/ Pajajaran, lorong di bawah jembatan Bondongan terletak pintu gerbang Pajajaran pertama. Sekaligus jembatan inipun adalah tinggalan masa Kolonial, dibangun bersamaan dengan pembangunan rel kereta api Bogor-Sukabumi.
Lewat sedikit dari Halte Batutulis kita bertemu dengan Jembatan Pamoyanan. Sebuah jembatan kereta api yang amat unik. Di bawah jembatan itu mengalir Sungai Cisadane dan jalur jalan untuk pejalan kaki atau motor roda dua.
Struktur jembatan perpaduan antara struktur bata merah dan baja. Yang juga menarik adalah pabrik pembuat baja dan rel kereta api adalah perusahaan milik Jerman berlabel Krupp. Jembatan nan unik itu kini telah tiada.
Pembangunan rel ganda kereta api Bogor-Sukabumi tak hanya telah menghilangkan sebuah bangunan cantik bergaya Indis di lokasi Stasiun Bogor Paledang.
Baca juga: Jejak Pakuan Pajajaran Berdasarkan Naskah Sunda Kuno
Dikhawatirkan jika ada pergeseran jalur rel sekitar Halte Batutulis, maka bangunan itupun akan lenyap pula. Sebuah bangunan halte yang tinggal satu-satunya di Kota Bogor itu akan sirna.
Akhirnya mari kita merenung, pelestarian kawasan pusaka sejarah dan kebudayaan tampaknya tidak menjadi prioritas utama Pemerintah. Adakah alasan untuk memperhatikannya ataukah sudah terlambat?