Scroll untuk baca artikel
Ruang Cinta Pusaka

Mengulik Asal Usul Nama Jasinga, Sejarah Penting di Bogor

20006
×

Mengulik Asal Usul Nama Jasinga, Sejarah Penting di Bogor

Sebarkan artikel ini
Tugu Jasinga
Tugu Jasinga

Kobra Post Online – Jasinga merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Provinsi Banten. Batas sebelah Selatan terletak di kampung Cigelung, Tengah kampung Cisarua, dan Utara Desa Tarisi. Lalu dari manakah asal usul nama Jasinga?

Asal Usul Nama Jasinga

Sebuah naskah lama berjudul Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara (Kitab Kerajaan-kerajaan di Nusantara) yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta, antara 1677-1698, menerangkan bahwa sebelum kerajaan Tarumanagara muncul, ada beberapa kerajaan lain di Tanah Pasundan. Dua terbesar di antaranya Salakanagara dan Jayasinghapura. Selain itu ada juga kerajaan Agrabinta dan Hujungkulwan. Nama Agrabinta tampaknya masih tertinggal pada nama yang sama di Cianjur Selatan.

Sedangkan Jayasinghapura besar kemungkinan sekarang ini adalah Jasinga, sebuah kawasan di sebelah barat Bogor. Pada masa lalu, wilayah ini meliputi batas-batas Sajira di sebelah Barat, Tangerang di sebelah Utara, Bayah di sebelah Selatan dan Cikaniki di sebelah Timur. Seiring waktu, kini meliputi daerah Cigudeg, Tenjo, Nanggung, Parungpanjang dan Jasinga sebagai titik pusatnya.

Orang-orang tua dulu menyebut Jasinga Bogor-Banten. Bahkan juru pantun terkenal Sunda yaitu Aki Buyut Baju Rambeng berasal dari daerah Bogor-Banten atau yang tinggal di daerah Pegunungan Tonggoheun (sebelah atas) Jasinga. Disebut Bogor-Banten karena posisinya berbatasan langsung dengan wilayah Banten.

Tidak hanya urusan geografis, ditinjau dari budaya, perilaku serta dialek bahasa pun banyak kemiripan dengan masyarakat Banten yang sebagian tidak terpengaruh dengan budaya Priangan. Mengenai asal usul nama ini sendiri hingga kini masih terdapat berbagai versi.

Beberapa Versi Asal Usul Nama Jasinga

(1). Mitos seekor Singa yang melegenda, jelmaan dari tokoh-tokoh Jasinga. Konon, ada tokoh setempat yang bisa mancala putra mancala putri, bahkan berubah wujud menjadi singa. Saat menampakkan diri sebagai raja gurun itulah, orang-orang terkagetkan dan berkata, “Ee..ja singa di dinya!”. Versi ini agak ganjil, mengingat tak ada singa di Indonesia, entah di zaman dulu kala.

(2). Pembukaan lahan wilayah itu dilakukan oleh Wirasinga, hingga nama lahan tersebut dijadikan nama Jasinga atas jasa Wirasinga. Wilayah tersebut dinamakan oleh Sanghyang Mandiri serta menobatkan Wirasinga sebagai penguasa baru. Jaya Singa bisa jadi sebuah daerah makmur yang dipimpin oleh Wirasinga, seperti Jakarta yang berasal dari daerah Jaya Karta dengan salah satu pemimpinnya, Pangeran Jaya Wikarta.

(3). Jayasingharwarman (358-382 M) Raja Tarumanagara I yang menjadikan Jayasinghapura sebagai ibukota kerajaan. Pendapat ketiga cukup menarik karena mengacu pada sejarah autentik bahwa Jasinga berasal dari kata Jayasingha.

Konon, seorang Reshi Salakayana atau Jayasinghawarman dari Samudragupta (India) dikejar-kejar oleh Candragupta dari Kerajaan Magada (India), hingga akhirnya mengungsi ke Jawa bagian barat. Ketika itu, Jawa bagian barat masih dalam kekuasaan Dewawarman VIII (340-362 M), raja kerajaan Salakanagara.

Jayasingharwarman menikah dengan Putri Dewawarman VIII yaitu Dewi Iswari Tunggal Pertiwi, dan mendirikan ibukotanya Jayasinghapura. Jayasinghawarman (358-382 M) bergelar Rajadiraja Gurudharmapurusa, wafat di tepi kali Gomati (Bekasi). Ibukota Jayasinghapura dipindahkan oleh Purnawarman Raja Taruma III (395-434 M) ke arah pesisir dengan nama Sundapura.

Baca juga : Jangan Ada Penista, Batu Tulis Aset Budaya

(4). Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang dan Singa bapang yang digabungkan menjadi Jasinga. Dua dari tujuh ajaran Sanghyang Sunda sekaligus menetapkannya sebagai suatu tempat komunitas Sunda.

Tujuh ajaran tersebut yaitu : Pangawinan (Pedalaman Banten), Parahyang (Lebak Parahyang), Bongbang (Sajira), Gajah Lumejang (Parung Kujang-Gn. Kancana), Singa Bapang (Jasinga), Sungsang Girang (Bayah), Sungsang Hilir (Jampang-Pelabuhan Ratu).

Tujuh ajaran itu mempengaruhi Purnawarman sebagai Raja Taruma III (395-434 M), sehingga ia mendirikan ibukota dengan nama Sundapura. Keruntuhan Taruma terjadi pada masa Linggawarman (669-732 M) sebagai Raja Taruma XII karena begitu kuatnya pengaruh Sunda.

Dua titik wilayah yang merupakan Sanghyang Sunda yaitu Gajah Lumejang-Singa Bapang dijadikan tempat laskar bagi Kerajaan Sunda. Dan kedua nama tersebut disatukan menjadi Gajah Lumejang Singa Bapang kemudian menjadi nama Jasinga (Ja=Gajah Lumejang, Singa=Singa Bapang). Perpaduan dua Filosofi Gajah dan Singa. Tujuh ajaran Sanghyang Sunda tersebut tercantum dalam Kitab Aboga yang diperkirakan dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran.

Kitab ini kabarnya dibawa ke Leiden pada akhir abad 19. Dalam naskah sejarah yang ditulis dan dirangkum oleh Panitia Wangsakerta Panembahan Cirebon, nama ini terdapat dalam sejarah Lontar sebagai tempat rujukan untuk melengkapi Kitab Negara Kretabhumi yang disusun untuk pedoman bagi raja-raja nusantara. Kitab itu disusun selama 21 tahun (1677-1698 M) pada masa-masa genting yaitu beralihnya raja-raja di Nusantara ke dalam penjajahan Belanda. Lontar itu berjudul ”Akuwu Desa Jasinga”.

Perlu dikaji bila naskah itu masih ada. Dari mitos seekor Singa, diyakini bahwa sampai saat ini masih ada beberapa ekor Singa yang menjaga wilayah ini walaupun dalam bentuk gaib. Padahal di Jawa Barat, bahkan di Indonesia, tidak ditemukan habitat singa satu pun.

Baca juga : Nani Kamarwan Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan

Jika dikaitkan dengan datangnya raja-raja pendahulu dari India, besar kemungkinan perlambang Singa berasal dari India pula. Tidak sebagaimana layaknya legenda-legenda di Jawa Barat, yang begitu percaya adanya Harimau Pajajaran serta menjadikan hal itu lambang atau filosofi tertentu, masyarakat di sini kurang erat dengan harimau mistik itu.

Alih-alih itu, masyarakat meyakini adanya seekor Singa, hingga pusat kecamatan dilambangkan sebuah Tugu Singa. Nama singa juga terdapat pada sebuah tanaman yang bernama Singadepa yang tumbuh di hutan-hutan. Daun Singadepa berguna untuk memandikan bayi yang baru lahir, pengharum badan, serta sebagai pencuci darah.

Tumbuhan Singadepa mempunyai tinggi + 30 cm, hidup di daerah yang lembab dan tertutup oleh pohon-pohon yang lebih tinggi. Di wilayah ini tanaman Singadepa sangat sedikit dan ada di hutan-hutan tertentu, kecuali di hutan pedalaman Baduy hingga ke Lebak sibedug (Citorek) di dekat Gunung Bapang.

Sumber :

  1. Sejarah Bogor 1, Saleh Danasasmita, 1983. Pemerintah Kota Madya DT. II Bogor.
  2. Prof. Dr. Ayat Rohaedi, SUNDAKALA Cuplikan sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta. Cirebon. Jakarta, Pustaka Jaya, 2005.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *