Kobra Post Online – Jangan Ada Penista, Batu Tulis Aset Budaya. Rencana penataan kawasan Batu Tulis yang berada di Kecamatan Bogor Selatan oleh Pemerintah Kota Bogor mengundang perhatian serius. Terutama di kalangan pemerhati sejarah, lingkungan dan umumnya pemerhati kebudayaan.
Jika kita buka lembaran sejarah Kota Bogor, maka dapat diketahui bahwa di kawasan inilah terjadi sentuhan pertama orang Barat atau Belanda melalui ekspedisi VOC yang dipimpin Scipio tahun 1687.
Ekspedisi ini tak hanya memetakan kawasan-kawasan pedalaman di luar benteng Batavia. Sebagai catatan sejarah, Scipio dan kawan-kawan menemukan sisa-sisa tinggalan Pajajaran dan sebuah batu bertulis, arca purwakalih dan jejak kawasan Kerajaan Pajajaran.
Bahkan di dalam ekspedisi lanjutan Abraham van Riebeeck dua kali melakukannya. Pertama tahun 1703 dan 1704 ketika menjabat sebagai petinggi VOC dan tahun 1709 tatkala Riebeeck menjabat Gubernur Jenderal masa bakti 1709 sampai 1713.
Riebeeck lah yang pertama kali menamakan kawasan yang dikenal sebagai temuan situs batu bertulis menjadi Kampung Batutulis. Hingga saat ini tak pernah berubah yaitu Kelurahan Batutulis.
Wacana penataan Kawasan Batu Tulis adalah momentum paling tepat untuk mengembalikan situs-situs bersejarah kepada fungsi utama semula. Situs Prasasti Batu Tulis adalah satu-satunya situs di Kota Bogor yang terkait dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran dan Sri Baduga Maharaja.
Jika sebuah situs bersejarah itu rusak, baik dengan sengaja atau akibat bencana alam misalnya, maka tak ayal akan merusak pula jejak tinggalan atau artefak budayanya. Sudah tentu akan mempengaruhi nilai-nilai kesahihan budaya tersebut dan terdampak kepada perjalanan sejarah suatu bangsa.
Sesungguhnya upaya-upaya merusak situs tinggalan budaya telah lama dalam perjalanan sejarah kebudayaan di Indonesia. Tak terkecuali di Kota Bogor. Berapa ratus bangunan, struktur, benda dan kawasan yang terkait dengan kecagarbudayaan lenyap tak berbekas. Kini hanya tinggal nama.
Kawasan Rancamaya dan Badigul, Sumur Tujuh dengan Cikahuripan, bangunan-bangunan bersejarah masa Kolonial kini hanya tinggal kenangan dan tinggal nama lokasi yang semakin kabur dan baur dengan perkembangan kota.
Penistaan Terhadap Batu Tulis
Masih teringat penistaan terhadap Prasasti Batu Tulis yang terjadi adalah sekitar delapan belas tahun yang lalu. Tepatnya pada hari Rabu, 14 Agustus 2002. Saat itu Menteri Agama di era Megawati Sukarno Putri, Said Agil Husin Al Munawar melakukan penggalian di komplek prasasti Batu Tulis.
Padahal, penggalian tersebut tidak memiliki izin resmi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jadi benar sebuah tindakan pidana dan merusak situs bersejarah. Dengan dalih merenovasi situs bersejarah peninggalan masa kerajaan Padjajaran, namun ujung-ujungnya melakukan penggalian pada salah satu prasasti.
Barangkali terdengar geli bercampur geram, saat cerita mengenai Said Agil Husein Al Munawar mendapat bisikan dari seorang paranormal. Yang mengatakan bahwa di area yang diyakini tempat terakhir Prabu Siliwangi berada sebelum menghilang entah kemana, terdapat harta karun. Harta karun itu diyakini mampu menutupi utang negara pada saat itu.
Saat itu ditemani paranormal dan empat penggali, Said Agil membongkar salah satu prasasti yang terletak di halaman kompleks Prasasti Batu Tulis. Peristiwa ini telah mengguncangkan jagat budayawan Kota dan Kabupaten Bogor, bahkan Tatar Sunda.
Semua surat kabar lokal dan nasional pada hari Ju’mat, 16 Agustus 2002 memuat kejadian yang memalukan ini. Bahkan koran lokal di halaman muka menulis dengan teks besar “Perburuan Harta Karun Diprotes”.
Bentuk penistaan lain yang kerap terjadi berkaitan dengan situs dan artefak tinggalan budaya adalah penyalahgunaan fungsi. Benda-benda tinggalan budaya dipandang dan dianggap memiliki kekuatan ghaib yang diyakini mampu memberikan dan bisa merubah hidup seseorang.
Sikap ini telah menyimpang dari kaidah agama, yang menjurus kepada kemusyrikan. Kondisi ini sangat memperihatinkan, bahkan sejak lama terjadi, jauh di masa kolonial belanda hingga hari ini.
Praktek-praktek tak terpuji oleh para juru pelihara, sering kita dengar dan saksikan. Dimana pengunjung Situs Prasasti, melakukan penyesuaian antara tapak kakinya dengan bentuk tapak kaki dari situs tersebut.
Tentu dibalik yang mereka lakukan ada embel-embel dengan harapan akan mendapat sesuatu yang berharga jika tapak kaki sang tamu bisa tepat seukuran tapak kaki batu tersebut.
Sebagai orang beragama, penulis ingin mengingatkan, praktek-praktek seperti itu saatnya kita tinggalkan. Prasasti Batu Tulis dan seluruh situs-situs di Kawasan Batu Tulis adalah aset budaya yang harus dipelihara dan dipertahankan.
Baca juga : Nani Kamarwan Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan
Dasar pemikiran penataan Kawasan Batu Tulis tercakup ke dalam beberapa kajian. Di wilayah Kelurahan Batutulis ada beberapa situs di antaranya Arca Purwakalih, Ranggapati dan Kupalandak.
Bagaimana mengintegrasikan keseluruhan situs tersebut dalam satu kesatuan dengan Prasasti Batu Tulis, sehingga tercipta dan tergambar sebagai Kawasan bersejarah, satu dengan lainnya merupakan benang merah Sejarah Kota Bogor.
Sejatinya untuk mengkaji keberadaan kawasan cagar budaya antara lain mengacu kepada pemikiran Saleh Danasasmita dan Pleyte yang telah tertuang di dalam buku Sejarah Bogor.
Batas batas Kawasan Batutulis yang dirangkum oleh Pleyte tahun 1910 itu mencakup batas batas Kawasan Sukasari, Pamoyanan dan Lawanggintung.
Di dalam Kawasan Batutulis tersebut Pleyte mencantumkan titik-titik penting kawasan seperti Tugu benten, Campaka warna, Karamat Embah Mangprang, (Prabu Susuk Agung). Karamat Embah Congkrang, (Prabu Guntur Agung), Karamat Embah Batutulis. Karamat Embah Purwa Galih, Karamat Embah Dalem dan Karamat Embah Natadani (Kuta Maneuh).
Titik kawasan kabuyutan tersebut hingga hari ini masih dijumpai di tempat yang disebut “in situ” atau masih di tempat semula. Keberadaan situs-situs yang tergambar melalui Peta Situasi Pakuan Pajajaran oleh Pleyte, seyogianya menjadi pertimbangan di dalam menata Kawasan Pusaka Batu Tulis.
Di luar situs-situs yang memiliki nilai bersejarah tersebut, di Kelurahan Batutulis masih memiliki kekayaan bentang alam dan saujana yang tidak dimiliki Kelurahan lain. Topografi lahan dengan lembah dan mata airnya, merupakan pelengkap saujana ke arah pandangan Gunung Salak, Pangrango dan Gunung Gede.
Konsep pemikiran dan pertimbangan yang patut menjadi dasar Penataan Kawasan Batutulis yang lainnya adalah alur kereta api Bogor-Sukabumi tinggalan Belanda, situs Veil Box di sekitar kawasan Gumati, Embah Dalem dan Istana Batutulis atau Hing Puri Bima Sakti.
Penulis : Rachmat Iskandar