Kobra Post Online – Dari sejumlah pahlawan nasional perempuan di Indonesia tercatat nama Raden Dewi Sartika. Setiap hari kelahirannya pada 4 Desember senantiasa diperingati sebagai sebuah bentuk penghargaan, dan perhatian sekaligus penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya di dalam kepeloporannya memajukan lingkup pendidikan, dan emansipasi kaum perempuan.
Perempuan berjiwa tegar ini lahir di Cicalengka, Kabupaten Bandung, pada tanggal 4 Desember 1884, sebagai puteri kedua dari lima bersaudara. Sang ayah adalah Raden Rangga Soemanagara, Patih Bandung dan ibundanya adalah Raden Ayu Rajapermas, puteri Bupati Bandung, Raden Adipati Aria Wiranatakusumah IV (1846-1876).
Peristiwa itu terjadi saat Dewi Sartika berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas 3 ELS (Europesche Lagere School). Dengan peristiwa tersebut, tak hanya ia harus mengundurkan diri dari bangku sekolah, namun juga menanggung derita karena dikucilkan oleh segenap teman dan kerabatnya. Mereka menjauh takut dituduh terlibat dalam peristiwa yang menngemparkan saat itu.
Masa kebahagiaan berkumpul bersama keluarga itu sirna ketika ayahanda, Raden Rangga Soemanagara, mendapat hukuman dibuang ke Ternate. Karena terlibat dalam peristiwa rencana pembunuhan terhadap Bupati Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara, keturunan menak Sumedang, dan para pejabat Belanda di Bandung pada tahun 1893.
Menjelang usia remaja, Raden Dewi Sartika kembali ke rumah ibundanya di Bandung. Kota yang kemudian menjadi tonggak sejarah yang mewujudkan cita-citanya sebagai guru. Pada 16 Januari 1904, ia membuka Sakola Istri atas bantuan Bupati R. A. A. Martanagara, dan dukungan C. de Hamer, Inspektur Sekolah di Bandung.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Sastrawan dan Penerjemah Ali Audah
Pelajaran yang diberikan selain yang sifatnya umum, juga diberikan keterampilan perempuan seperti memasak, menjahit, merenda, dan menyulam. Lebih dari itu, diberikan pula pelajaran agama Islam yang di sekolah-sekolah Barat dilarang. Demi cita-citanya yang luhur pada1906 di usia 22 tahun ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata, seorang guru pelatihan untuk para guru Sekolah Karang Pamulang.
Saat suasana yang tidak memberi kenyamanan dan demi kehidupan masa depan Raden Dewi Sartika, maka atas kebaikan uwanya, ia dibawa pindah ke Cicalengka, yang kebetulan menjabat Patih Cicalengka. Di kawasan yang jauh dari hiruk pikuk kota Bandung, Dewi Sartika yang memiliki bakat sebagai pendidik itu sering bermain sekolah-sekolahan dan memperagakan dirinya sebagai seorang ibu guru.
Kehidupan masa kanak-kanak di kawasan Cicalengka, yang biasa bergaul dengan anak somah telah membentuk dasar pandangan hidupnya kemudian. Ia mempunyai cita-cita untuk memajukan anak-anak gadis bagi anak menak dan anak cacah.
Tahun penting dari perkembangan Sakola Istri adalah 1910, dengan pergantian nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Ketika itu selain jumlah murid yang semakin banyak, juga dibuka cabang-cabang sekolah di Serang, Bogor, Cianjur, Tasikmalaya dan Ciamis. Pada tahun 1911, jumlah murid sudah mencapai 211 orang dan jumlah guru yang mengajar 5 orang. Kemudian pada tahun 1914 nama sekolah diganti menjadi Sakola Raden Dewi Sartika.
Atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan, Pemerintah Hindia Belanda menganugerahi tanda penghargaan berupa gelar Orde van Oranje Nassau, pada tahun 1939, tepat ulang tahun ke 35 Sakola Kaoetamaan Istri.
Baca juga: 2 Jembatan di Bubulak, Pangaduan dan Martadinata
Raden Dewi Sartika wafat pada tanggal 11 September 1947, karena sakit dalam usia usia 63 tahun dan dimakamkan di Cineam, Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 1950, makam Rd. Dewi Sartika dipindahkan ke Kompleks Pemakaman Keluarga Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Sebagai tokoh perintis pejuang emansipasi perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 252, tanggal 1 Desember 1966.
Mencermati tapak jejak Raden Dewi Sartika sejak tahun 1904, awal ia mewujudkan impiannya yang luhur mendirikan sakola untuk anak-anak perempuan dari kalangan menak dan cacah, artinya kini telah berusia 120 tahun. Rentang waktu nan panjang itu kini telah mewariskan semangat bagi munculnya perempuan-perempuan pembaharu yang perkasa yang berkiprah dalam bidang sain, teknologi dan humaniora. Mereka, sang perempuan-perempuan pembaharu tersebut telah menghiasi persada Nusantara dengan segenap pengabdian dan keakhliannya.
Di Tatar Sunda kita mengenal Satyawati Suleiman perempuan pertama orang Bogor yang berprofesi sebagai arkeolog yang juga pertama di Indonesia, Nina Herlina perempuan cerdas dari Sumedang yang meraih gelar Doktor ilmu sejarah pertama di Tatar Sunda dan ketiga di seantero Nusantara, juga Karlina Supelli, orang Sukabumi yang meraih gelar sarjana ilmu astronomi dan Doktor Filsafat.
Sebagai catatan terakhir perlu ditulis di sini, adanya jejak Raden Dewi Sartika di Kota Bogor yang perlu dilestarikan. Upaya pelestarian tersebut sebagai rasa hormat atas jasa-jasa beliau yang besar bagi kemajuan dan pendidikan serta pelopor perjuangan emansipasi kaum perempuan di Bogor khususnya dan di Indonesia umumnya.
Penelitian dan Inventarisasi Benda Cagar Budaya baik yang Bergerak maupun yang Tidak Bergerak, yang telah diselenggarakan oleh Dinas Informasi Kepariwisataan Dan Kebudayaan Kota Bogor pada bulan Juni 2007. Tercatat ada beberapa bangunan dan benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan dapat dikategorikan sebagai Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB).
Baca juga: Dari Bus Tan Lux, Robur dan Bemo, Secercah Kisah Angkot di Bogor
Bangunan dimaksud adalah dua gedung SD, yang pertama adalah Sekolah Dasar Kautamaan Istri di jalan Ciwaringin ll, Kelurahan Ciwarinign, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Yang sangat menarik di SDN tersebut masih tersimpan dengan baik dan terpelihara bangku dan meja menyatu sebagai bangku belajar dari bahan kayu jati yang dipakai ketika nama SD masih SR atau Sekolah Rakjat ciri khas bangku belajar itu pada bagian meja terdapat cowakan tempat pinsil dan lubang untuk meletakkan wadah tinta. Bangunan kedua adalah Sekolah Dasar Negeri Panaragan di Jalan Veteran, Kelurahan Panaragan, Kecamatan Bogor Tengah.
Bangunan SDN Panaragan masih menampilkan sosok bangunan lama, berdinding batu andesit dan memiliki atap tradisional khas Sunda berbentuk limasan. Di Sekolah Dasar itu pula yang semula bernama Sekolah Gadis, menyimpan dengan baik arsip-arsip sekolah sejak sekolah tersebut berdiri. Sebagai sebuah bangunan tua, di Sekolah Dasar itu pula pernah berdiri bangunan Rumah Sakit Biri-Biri. Kemudian dipakai Kantor Pemerintah Kabupaten Bogor.