Penulis : Rachmat Iskandar (Penggiat Benda Cagar Budaya)
Angin puting beliung yang melanda Kota Bogor pada Kamis, 6 Desember 2018 lalu tak hanya menyisakan kerusakan parah para pemukiman sekitar Lawang Gintung, Pamoyanan dan Batutulis.
Tapi juga reaksi keras dari komunitas budaya dan pencinta lingkungan. Alih-alih mereka membantu pemulihan kerusakan yang menimpa rumah-rumah penduduk, justru menuntut pemerintah agar peduli pada salah satu situs di Kawasan Embah Dalem yang terdampak bencana alam tersebut.
Situs dimaksud dikenal dengan nama Sumur Tujuh. Terletak di dalam kawasan makom kuno Embah Dalem.
Adakah kaitan antara angin puting dengan keberadaan situs tersebut? Di sini menarik untuk dikaji lebih jernih dan berfikir sedikit ilmiah.
Bahwa konon, munculnya bencana angin puting beliung itu disebabkan dibangunnya penataan lahan sekitar Makom Embah Dalem sehingga tak hanya menghilangkan sumur-sumur, namun telah merusakan situs tinggalan masa Pajajaran tersebut.
Di luar masalah perdebatan, silang pendapat dan tuntutan kepada Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, tulisan berikut akan mengkajinya lebih jelas.

Tidak ada data atau literasi yang lengkap apakah Sumur Tujuh itu sebuah situs?
Apalagi jika dihubung-hubungkan dengan pendapat di masyarakat bahwa Sumur Tujuh telah ada sejak masa Kerajaan Pajajaran.
Penulis buku Sejarah Bogor, Saleh Dana Sasmita juga tidak menyinggungnya. Beliau hanya sedikit menerangkan adanya makom kuno Embah Dalem dan di sekitar kawasan itu mengalir sungai kecil yang dikenal dengan nama Cikahuripan.
Sebenarnya secara toponim nama Sumur Tujuh sebagai sebuah kawasan yang dikeramatkan atau istilahnya kabuyutan dijumpai di semua daerah atau kota di Indonesia.
Di Kota Bogor, selain di Kelurahan Lawang Gintung juga ada di Bubulak. Di Kota Depok, Situs Sumur Tujuh itu terletak di Kecamatan Beji.
Untuk menjelaskan Sumur Tujuh yang berlokasi di dalam kawasan Makom Embah Dalem, perlu kita telaah penelitian C. M. Pleyte menyangkut Situs Batutulis.
Pleyte seorang etnograf Belanda lulusan Universitas Leiden telah meneliti situs tersebut pada pertengahan tahun 1903. Hasil penelitiannya baru dipublikasikan tahun 1911.
Di dalam laporan penelitian yang berjudul : “Het Jaartal op en Batoe Toelis nabij Buitenzorg”, ia menyatakan bahwa dalam hal legenda-legenda dan berita sejarah yang lebih bisa dipercaya menunjukkan Kampung Batutulis merupakan puri tempat Kerajaan Pajajaran.
Penelitian Pleyte telah menunjukkan bahwa sekitar Batutulis adalah kawasan yang sangat bersejarah.
Pleyte tak hanya menerangkan Kerajaan Pajajaran dalam bentuk tulisan, namun dilengkapi oleh dua gambar peta. Peta pertama gambaran situasi dalam skala 1:20000, yang menunjukkan batas-batas Kawasan Kerajaan.
Batas-batasnya sangat jelas yaitu Pamoyanan, Sukasari, dan Lawang Gintung. Peta kedua yang lebih rinci adalah gambaran tata letak Keraton Pakuan Pajajaran dalam skala yang sama.
Di peta tersebut dapat diketahui dimana kedudukan dan lokasi Keramat Embah Dalem.

Yang menarik, di peta ini juga kita bisa mengetahui keberadaan situs-situs yang saling mendukung misalnya Keramat Embah Mangprang, Embah Congkrang, Embah Batutulis, Purwa Galih dan Embah Natadani.
Mengapa Situs Sumur Tujuh tidak tercantum dalam peta yang dibuat oleh Pleyte tersebut? Beberapa dasar pemikiran dapat diajukan sebagai berikut :
– Pleyte hanya menggambarkan lokasi Keraton dalam garis besar.
– Situs seperti dalam kaitan dengan fungsi yang lebih spesifik seperti bentuk sumur atau dalam lingkup pertirtaan, batu tegak atau menhir, lingga dan yang lainnya adalah ranah arkeologi. Pleyte tidak menelitinya lebih rinci.
– Pada galibnya situs seperti sumur, situ, dan sumber mata air sering berkembang baik dari nama maupun luas kawasannya.
Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah kearifan lokal orang Sunda yang yang sangat menghormati dan menghargai alam dan lingkungannya.
Konsep budaya Sunda, “lemah-cai” telah tertanam sejak berabad-abad lalu. Lemah yang artinya tanah dan cai yang artinya air telah melekat dalam kehidupan masyarakat Sunda sehari-hari.
Seperti halnya Sumur Tujuh yang berada di Kawasan Situs Embah Dalem, yang hingga saat ini masih menyimpan air yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Walaupun mungkin tidak lagi berjumlah tujuh sumur.
Kawasan itu memang sangat subur karena terletak di sebuah lembah yang diapit dua sungai besar Sungai Cisadane dan Ciliwung, di tengahnya mengalir pula Sungai Cipakancilan dan Cibalok.
Sekitar 1970 dan 1980, pepohonan besar yang telah berusia ratusan tahun menaungi kawasan tersebut. Sehingga selain sejuk dan teduh, juga memberikan suasana yang mencekam atau geueuman, apalagi menjelang sore hari.
Ada hal yang seyogianya menjadi pemikiran kita, berdasarkan paparan pengalaman Budayawan Wahyu Affandi Suradinata, yang dikenal sebagai Guru Teupa (gelar khusus yang disandang oleh seorang pembuat kujang.
Wahyu adalah budayawan Kota Bogor yang telah malang-melintang dalam upaya pelestarian warisan leluhur senjata ageman urang Sunda, yaitu kujang.
Paparan yang disampaikan dalam acara Diskusi Panel yang mengambil tema: Menggali Kembali Nilai Budaya Sumur Tujuh di gedung DPRD Kota Bogor pada tanggal 5 Januari 2019.
Ia mempertanyakan apakah Situs Sumur Tujuh atau Situs Pancuran Tujuh?
Sekitar tahun tujuh puluhan ia sering kukurusukan di tempat-tempat keramat.
Tak terkecuali di Kawasan Embah Dalem yang saat itu masih penuh pohon besar dan di sekitarnya belum banyak rumah dan PKL.
Wahyu sering mandi di sana. Namun ia tak pernah menemukan adanya sumur yang jumlahnya sampai tujuh.
Sepengetahuannya bukan sumur tujuh tapi berupa sumur yang berjumlah tujuh dari sebuah sumber mata air berbentuk sumur.
Menurut pengamatannya kawasan yang memiliki mata air dengan pancurannya itu telah menjadi milik warga sekitarnya dan digunakan secara rutin.
Menurut pengamatan Wahyu, bahwa kedudukan sumur dan pancuranya itu disesuaikan oleh masyarakat setempat berdasarkan jenis kelamin.
Secara topografis memiliki undakan lahan yang cukup terjal. Sumur dan pancuran peruntukkan perempuan terletak di undakan atas.
Sedangkan untuk pemakai laki-laki terletak di undakan bawahnya.
Mudah dimengerti dan masuk akal mengapa kedudukan pancuran dan sumur yang di atas peruntukkan perempuan.
Konon demi etika dan kesusilaan perempuan tidak mungkin mengintip bapak babak atau kaum lelaki saat mandi. Berbeda jika sebaliknya.
Akhirnya mari kita fikirkan secara arif dan jernih apakah Situs Sumur Tujuh atau Situs Pancuran Tujuh, Situs yang berada di kawasan Embah Dalem tersebut.
Tugas para budayawan, pemehati sejarah dan fihak lain peduli kebudayaan yang harus membuktikannya.