Julukan Bogor Bertambah, Kobra Post Online – Masih ingat lagu Benyamin Sueb, di Bogor angin ribut, Jakarta Kebanjiran. Ia membuat syair lagu itu terinspirasi peristiwa angin topan di Kota Bogor pada 4 Januari 1970. Nampaknya lagu ini sudah tidak relevan lagi, karena bencana alam yang kerap kali terjadi di Bogor tidak hanya angin ribut, juga banjir seperti halnya Jakarta.
Sehingga julukan Bogor sebagai kota hujan sudah usang, kini nambah predikat lagi menjadi Kota Banjir. Lengkap sudah Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, Kota Hujan dan Kota Banjir.
Sangat gampang menelusuri penyebab banjir di kawasan kota. Salah satunya adalah tidak terpeliharanya drainase, sehingga penumpukan sampah tak terkendali lagi. Dan luapan air itu yang kemudian menjadi banjir di berbagai titik kawasan dan lingkungan perkotaan.
Selain itu, penyumbang keparahan banjir di sektor perkotaan adalah sikap mental masyarakat kota terhadap nilai-nilai kebersihan dan kesehatan lingkungan. Mereka seenak perutnya buang sampah plastik dan limbah rumah tangga ke sungai, got dan saluran pembuangan air di pusat-pusat permukiman dan perumahan umumnya. Mungkin juga lahan serapan air hujan yang telah berubah menjadi kawasan permukiman dan perumahan, jalan-jalan dan gang-gang beton, pusat perbelanjaan, pertokoan dan perkantoran.
Laporan kejadian pada Minggu, 11 September 2022 tentang bencana longsor dan banjir di Kota Bogor menghentak fikiran kita. Kawasan dan lingkungan kedua bencana itu sudah merata di seluruh Kota dan Kabupaten Bogor. Padahal tahun-tahun sebelumnya langganan banjir dan longsor hanya terjadi di kawasan dengan kondisi lahan yang rawan bencana. Seperti di daerah aliran sungai, lahan dengan topografi yang curam, atau kondisi permukiman liar yang dibangun tanpa izin mendirikan bangunan.
Baca juga: Ada Apa Dengan Proyek Masjid Agung?
Pada tahun 1998, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat ll Bogor telah menyusun tabulasi menyangkut Data Pokok Pembangunan Daerah. Di mana isinya tak hanya tabel-tabel wilayah administrasi, kependudukan, morfologi dan curah hutan serta penggunaan tanah. Termasuk juga tabel lokasi rawan bencana menyangkut lingkungan kecamatan, kelurahan/desa, banjir, kekeringan dan longsor.
Berdasarkan Data Pokok Pembangunan itu, dapat diketahui gambaran wilayah mana saja yang memiliki tingkat kerawan tinggi dan rendah bencana banjir dan longsor di Kota Bogor. Tabulasi yang terbit saat Wali Kota Eddy Gunardi itu memberi gambaran sebagai berikut:
Wilayah Kecamatan Bogor Utara memiliki kawasan terluas untuk lokasi bencana alam banjir yaitu sekitar 8,9 Ha dan yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Timur sekitar 0,80 Ha. Sedangkan untuk bencana alam longsor wilayah Kecamatan Bogor Barat tertinggi yaitu sekitar 7.000meter persegi.
Saat Bogor masih berstatus Kotamadya, tercatat desa dan kelurahan yang menjadi langganan bencana longsor dan banjir antara lain desa Cibuluh, Kecamatan Bogor Utara. Di Kecamatan Bogor Timur tercatat dua desa, yaitu Sindangrasa dan Katulampa. Dua desa di Kecamatan Bogor Selatan yaitu desa Muarasari dan Ranggamekar terjadi banjir dan longsor. Di kedua desa itu sekitar seribu meter persegi terkena bencana longsor. Mungkin sangat menarik disimak bahwa Kelurahan Sempur di Kecamatan Bogor Tengah tercatat sekitar 8.000meter persegi terkena bencana longsor, disusul Kelurahan Menteng sekitar 7.000meter peregi di Kecamatan Bogor Barat. Di Kecamatan Tanah Sareal ada dua desa yang sering diberitakan kejadian bencana banjir dan longsor yaitu Desa Mekarwangi dan Kedungbadak.

Beberapa tahun terakhir ini banjir dan genangan air hujan di Bogor semakin meluas. Penyebabnya tak hanya salah urus drainase, hal lain yang semakin memperparah banjir adalah semakin menyusutnya lahan untuk resapan air, buang sampah sembarangan dengan memanfaatkan sungai dan selokan.
Baca juga: 86 Rumah Terdampak Banjir dan Longsor di Katulampa
Namun jangan lupa, biang kerok utama penyebab banjir di Bogor adalah kerusakan lahan serta kawasan hutan yang secara sistematis dan masif dilakukan oleh berbagai oknum. Dari penjahat sampai pejabat, dari kuli bangunan sampai pemilik kekuasaan, dari para eksekutif dan jenderal, semuanya merusak kawasan tersohor sejak zaman kolonial mula: Puncak. Lokasi kawasan hulu dan mata air sungai Ciliwung.
Kasus-kasus banjir di Kota dan Kabupaten Bogor, sejatinya adalah bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Di Kabupaten Bogor, semula jarang diberitakan kejadian bencana banjir, apalagi di kawasan-kawasan hulu. Banjir di Ciapus, Sukamantri atau Pakansari sangat menarik dan penting dicermati, karena penyebabnya adalah kerusakan lingkungan. Pertama-tama tentu yang patut disalahkan adalah pemberi izin pembangunan pusat permukiman dan perumahan. Apakah lahan peruntukkan permukiman dan perumahan itu sudah sesuai dengan perencanaan tata kota dan lingkungan? Apakah ada kecenderungan alih fungsi lahan? Dua aspek itu saja merupakan pelanggaran yang akan memicu banjir oleh luapan air hujan dan sungai yang tak terkendali.
Seyogianya para pemegang kekuasaan, petinggi, inohong, dan mereka yang terlibat dalam pembangunan fisik, prasarana wilayah kota dan daerah. Belajar dan bercerminlah dari kegagalan pembangunan kawasan metropolitan Jakarta.
Perencanaan Kota Jakarta yang selama ini cenderung mengabaikan kondisi topografi, banjir dan drainase, telah menuai akibat kerugian yang sangat mahal. Pemberian izin real estate yang tidak dilengkapi dengan prasarana drainase dan konservasi yang memadai telah memicu terabaikannya prinsip-prinsip ekologi secara mendasar. Pengembangan kota yang hanya berorientasi kepada aspek ekonomi sempit, telah menimbulkan malapetaka dan membawa penderiraan bagi masyarakat.