Fenomena Kekerasan di Lingkungan Sekolah

Fenomena Kekerasan di Lingkungan Sekolah

Kobra Post Online – Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi kecerdasan, budi pekerti, pengendalian diri, kekuatan spiritual, akhlak mulia dan kemampuan yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. 

Sejatinya, salah satu upaya untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah melalui peningkatan kinerja guru di satuan pendidikan. Tetapi kenyataannya hal tersebut belum memenuhi harapan. Indikator belum terpenuhinya harapan tersebut tercermin pada kinerja akademik, dan aspek akademik yang dimiliki para guru. 

Di sisi lain, aspek non-akademik seperti halnya nilai moral dan sosial-emosional kurang dimanfaatkan secara maksimal sehingga hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan. 

Tidak dapat dipungkiri, pendidikan yang mengangkat nilai-nilai moral dan emosional saat ini hanya dilaksanakan pada pelajaran agama dan kewarganegaraan. Sehingga dengan fenomena seperti ini tidak bisa disangkal akan terhubung dengan terjadinya kekerasan di tingkat satuan pendidikan. Kekerasan di satuan pendidikan harus menjadi tanggung jawab orang-orang yang berada dalam sekolah sebab merekalah yang bertanggung jawab atas peserta didik di sekolah. 

Agar tidak menjadi penghambat perkembangan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, fenomena kekerasan di satuan pendidikan harus segera diatasi dengan memerankan aktor pendidikan.

Baca juga: Mengapa di Sekolah Ada Peraturan Untuk Peserta Didik?

Fenomena kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan akan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai gantinya akan muncul keberingasan yang tidak menutup kemungkinan menjadi terlembagakan. Oleh karena itu kekerasan di lingkungan satuan pendidikan tidak boleh terus menerus diabaikan, harus segera ditemukan solusi akar masalahnya. 

Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan tidak lepas dari hubungan subjek-objek yang dikonstruksi oleh ilmu pendidikan. Untuk mengatasi kekerasan di satuan pendidikan, hendaknya materi pembelajaran menekankan pada sikap dan perilaku. 

Penekanan objektivitas pada ilmu pengetahuan serta proses pendidikan juga mempengaruhi pembentukan paradigma dan gagasan subjek dan objek. Paradigma ini berbentuk guru memandang peserta didik sebagai objek yang perlu diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi kadang siswa melihat dirinya dalam objek sebagai wadah yang kosong yang perlu menerima muatan pembelajaran dari guru. 

Dalam dunia pendidikan, kejadian guru memukul peserta didik, peserta didik memukul guru, dan perkelahian antar pelajar semakin banyak terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan subjek-objek antara guru dan peserta didik. Hubungan guru dan peserta didik yang tidak bekerja dengan baik. 

Jika objektivitas sangat penting dalam proses pembelajaran, maka guru berperan dalam mengasah emosi serta dunia batin peserta didik dengan nilai-nilai moral yang selalu digaungkan pada setiap memberikan pembelajaran apapun.

Baca juga: Oknum Guru SDN Sangkali 01 Lakukan Kekerasan Terhadap Siswa Hingga Trauma

Pendidikan moral merupakan pendidikan yang memberikan pendidikan non akademik, terutama mengenai sikap dan perilaku yang benar pada kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan dan saling menghargai harus ditanamkan kepada peserta didik. 

Memberikan ilmu pengetahuan, mengembangkan emosi dan menumbuhkan nilai-nilai moral pada peserta didik merupakan tugas yang sulit bagi guru. Oleh karena itu harus ada intervensi dari pemerintah berupa mengubah dan memodifikasi isi kurikulum dengan menambahkan nilai-nilai moral yang bertujuan membentuk karakter peserta didik agar peserta didik memiliki nilai moral yang baik. 

Dalam proses pembelajaran hendaknya derajat objektivitas ilmu pengetahuan tidak boleh dipengaruhi oleh emosi dan sikap batin guru dan peserta didik. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang mempunyai masalah yang perlu diselesaikan dan diatasi melalui emosi seperti gembira, takut dan marah. Kecenderungan perilaku adalah murni masalah emosi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi emosi seseorang. Emosi seseorang didasarkan pada pengalaman, keyakinan, sikap, interaksi dan lingkungan. Emosi seseorang dapat diekspresikan melalui bahasa tubuh, wajah, suara, dan komunikasi verbal. 

Kekerasan di lingkungan sekolah disebabkan oleh kurangnya kematangan emosi dan kurangnya pendidikan moral peserta didik oleh guru. Semestinya sekolah mampu memberikan rasa aman dan nyaman dimana peserta didik dapat memenuhi dan mengembangkan potensi dirinya. Tetapi banyak peserta didik yang sering trauma dengan lingkungan dan terhambat dalam mengembangkan potensinya. Hal ini disebabkan karena rasa trauma akibat perundungan yang pernah dialaminya. Perundungan adalah suatu tindakan dimana seseorang menggunakan kekerasan untuk menyakiti, menghina, menindas, mempermalukan secara psikologis, dan menguasai orang lain, dan korbannya menerima segala bentuk perlakuan yang yang diberikan oleh pelakunya. 

Dalam kehidupan di masyarakat, banyak ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan sosial-emosional, terutama di kalangan generasi muda dan pelajar. Lembaga pendidikan yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan, tampaknya belum mampu memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, belum mampu menyelesaikan secara tuntas. Inilah “Pekerjaan Rumah” yang harus segera dituntaskan oleh para profesor pendidikan, dari tingkat tertinggi hingga terendah. 

Dari sudut pandang makroekonomi, pendidikan di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan yang diharapkan sebagaimana dituangkan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Salah satu indikator buruknya sistem pendidikan kita adalah tingginya angka kejadian kekerasan dalam sistem pendidikan kita.

Fenomena Kekerasan di Lingkungan Sekolah

Berdasarkan hal tersebut, pendidikan formal saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah kekerasan di lingkungan sekolah, diperlukan juga bantuan keluarga dan sosial masyarakat. Sudah sepatutnya, keluarga mempunyai peranan yang sangat besar dalam melaksanakan pendidikan nilai pada anak-anaknya. Orang tua bertanggung jawab penuh terhadap anaknya dalam lingkungan keluarga dan menunjukkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya sesuai dengan nilai-nilai normatif masyarakat dimana anak tersebut tinggal. Dengan begitu diharapkan terciptanya generasi muda yang sehat secara fisik dan sehat mental.