BOGOR, Kobra Post Online – Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) menggelar Forum Diskusi Advokasi yang membahas kebijakan kemasan rokok tanpa merek.
Forum tersebut berlangsung di Hotel Onih, Kota Bogor, Jawa Barat, dihadiri perwakilan FSP RTMM SPSI dari berbagai daerah. Narasumber yang hadir antara lain Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) dan Koordinator Kemasyarakatan Perselisihan Industrial Kementerian Tenaga Kerja, Niko Demus Lupa.
Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, diprotes oleh banyak pihak. Ketua Umum FSP RTMM SPSI, Sudarto AS, menyatakan kebijakan tersebut dapat mengancam industri hasil tembakau, yang menjadi sandaran hidup banyak pekerja.
“Kami khawatir kebijakan ini akan merugikan industri dan pekerja yang bergantung pada tembakau,” ujar Sudarto di Bogor, Selasa (24/9).
Sudarto juga menyoroti minimnya keterlibatan pekerja dalam penyusunan PP 28/2024 dan RPMK. Ia menjelaskan bahwa pihaknya terpaksa hadir dalam public hearing yang diadakan oleh Kemenkes RI pada 3 September 2024 di Jakarta meskipun tidak diundang.
Menurut Sudarto, dalam forum tersebut, para pekerja mengemukakan keberatan mereka terhadap berbagai aturan yang berdampak buruk pada industri tembakau dan makanan-minuman, terutama terkait pasal-pasal zat adiktif dalam PP 28/2024.
Sudarto juga menyebut kenaikan cukai rokok sebagai faktor yang memicu pertumbuhan rokok ilegal, sementara pemerintah belum berhasil menanganinya. Selain itu, regulasi baru terkait garam, gula, dan lemak (GGL) juga dapat merugikan industri makanan dan minuman, karena akan mengurangi kemampuan produsen untuk berinovasi dan beriklan.
“Kami merasa hak kami sebagai pekerja tidak terlindungi dengan baik,” kata Sudarto.
Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya melindungi mata pencaharian pekerja. Namun justru sebaliknya, kebijakan tersebut dapat memicu hilangnya lapangan kerja.
Baca juga: Perangi Rokok Ilegal, Kabupaten Bogor Gencarkan Sosialisasi Cukai Hasil Tembakau
Sudarto mengingatkan bahwa kebijakan baru harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pekerja. Ia berharap Kementerian Kesehatan dapat berkoordinasi lebih baik dengan kementerian lain agar tercipta regulasi yang seimbang.
“Kami meminta Kemenkes untuk menghapus aturan kemasan rokok tanpa merek dari Rancangan Permenkes dan meninjau kembali PP 28/2024,” ujarnya.
Sudarto menambahkan bahwa dialog yang dilakukan oleh FSP RTMM SPSI bertujuan untuk membuka pintu bagi Kemenkes RI agar mendengarkan aspirasi pekerja. Namun, upaya tersebut belum mendapatkan tanggapan dari Kemenkes, sehingga aksi turun ke jalan menjadi opsi advokasi berikutnya.
“Jika diplomasi gagal, kami siap turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi,” tegasnya.
Koordinator Pemasyarakatan Perselisihan Hubungan Industrial Kemnaker, Niko Demus Lupa juga menyoroti dampak regulasi ini terhadap pekerja. Menurutnya, aturan kemasan rokok polos dan zonasi larangan penjualan rokok dalam PP 28/2024 berpotensi mengurangi kesejahteraan dan jumlah tenaga kerja di industri tembakau.
Niko menyatakan dukungannya terhadap upaya perbaikan sistem kesehatan, namun ia berharap regulasi yang dibuat juga mempertimbangkan dampaknya terhadap tenaga kerja. Ia menegaskan, aturan yang terlalu ketat dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tidak selalu efektif dalam menangani masalah kesehatan.
“Kami mendesak Kemenkes untuk membuka diskusi lebih luas dengan pihak terdampak dan meninjau ulang aturan-aturan bermasalah dalam PP 28/2024 dan RPMK,” tutupnya.