Kobra Post Online – Jika tidak ada aral melintang, Kota Bogor akan membangun sebuah museum kebudayaan Pajajaran seperti halnya Museum Sri Baduga Jawa Barat di Kota Bandung. Tentu ini akan melengkapi museum-museum yang ada saat ini. Seperti Museum Zoologi, Museum PETA, Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti dan museum yang lainnya.
Pembangunan Museum Pajajaran terkait dengan rencana Pemerintah Kota Bogor di dalam upaya menata Kawasan Pusaka Batutulis. Berpikir lebih jauh kedepan menghadirkan keberadaan sebuah kawasan bersejarah agar tak hanya terkenal oleh warga Kota Bogor sendiri, namun juga masyarakat luas. Lokasi Museum Pajajaran rencananya di Gedung SDN Batutulis tidak jauh dari lokasi prasasti Batutulis.
Kawasan Batutulis merupakan pusatnya situs-situs peninggalan kerajaan Pajajaran. Seperti Prasasti Batutulis, Arca Purwakalih, situs Mbah Dalem, juga artefak-artefak budaya masa prasejarah, masa kolonial dan masa kemerdekaan. Tinggalan masa prasejarah berupa batu congkrang, bunker dan stasiun Batutulis tinggalan masa kolonial. Serta istana Hing Puri Bimasakti tinggalan Bung Karno.
Tinggalan masa Pajajaran hingga saat ini belum terlacak seluruhnya. Baik dalam bentuk prasasti, arca, tulisan, maupun berupa kawasan dan konon keberadaan istana yang berlokasi sekitar Lawang Gintung.
Di luar itu ada tinggalan masa Kerajaan Pajajaran yang amat penting yaitu adanya surat perjanjian politik antara Kerajaan Sunda dan Portugal pada 21 Agustus 1522. Saat itu Ratu Samiam sebagai Raja Sunda membuat perjanjian dengan perwakilan Portugal, Henique de Lame. Bukti surat perjanjian itu menurut sejarawan Prof. Nina H. Lubis sampai sekarang masih tersimpan di Portugal. Akan sangat menarik untuk kehadiran Museum Pajajaran jika surat perjanjian tersebut menjadi salah satu koleksi unggulannya.
Baca juga : Kawasan Suryakancana dan Warisan Tionghoa
Selain sepucuk surat perjanjian tersebut konon di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang, tersimpan barang-barang pusaka milik Kerajaan Pajajaran. Kisahnya sekitar masa akhir menjelang keruntuhannya tahun 1579. Raja Siliwangi Pamungkas, Prabu Raga Mulya Suryakancana, pergi meninggalkan keraton. Karena kearifannya menghindarkan perang terbuka yang lebih besar dan memakan korban. Sebelum meninggalkan keraton, Sang Prabu mengutus empat orang Kandaga Lante (panglima), untuk menyerahkan barang-barang pusaka kerajaan kepada Prabu Geusan Ulun.