BOGOR, Kobra Post Online – Sebuah diskusi yang mengangkat seni dan budaya bertajuk pitulasan kembali digelar oleh komunitas penyanyi jalanan yang tergabung Trotoar Kreatif Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Merdeka, bersama Jangkar Jiwa di Taman Malelang, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, pada Rabu (17/7) sore.
Diskusi publik yang dilaksanakan rutin setiap tanggal 17 setiap bulan, untuk kali ini memasuk episode yang ke lima.
Pitulasan #5 ini mengusung tema ‘Seni dan Tanggung Jawab Sosial’ dengan menghadirkan pembicara M. Yusro Khazim Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (Depenas) Serikat Buruh Nasional Indonesia (SBNI), Diki Sudrajat (jurnalis,) Rachmat Iskandar (sejarawan), dan Ki Agus Pranamulia (budayawan).
Dalam diskusi yang dipandu Heri Cokro, Ketua Unum Depenas SBNI M. Yusro Khazim mengatakan, bahwa dikalangan buruh juga banyak seniman. “Syair-syair lagu yang menyuarakan nasib buruh dalam setiap aksi bukti bahwa buruh pun mempunyai jiwa seni,” kata dia.
Terkait dengan penyanyi jalanan, sambung Yusro, ke depan perlu ada regulasi untuk mengakomodir para musisi jalanan. “Kalau buruh sudah ada Undang-Undangnya. Tinggal musisi jalanan. Mereka adalah pekerja seni perlu juga dibuatkan regulasi atau payung hukum oleh pemerintah,” harap Yusro.
Baca juga: Diskusi Publik Pitulasan #4, Dedie A. Rachim Beberkan Tagline Bogor Beres
Sejarawan, Rachmat Iskandar memaparkan tentang sejarah perkembangan seni Lukis, dan seni gambar modern di Kota Bogor yang diawali oleh kedatangan Belanda ke Nusantara.
Penulis rubrik Ruang Cinta Pusaka Media Kobra Post itu mengatakan, armada Belanda ke Nusantara selain membawa serdadu, dan barang perlengkapan untuk tujuan dagang. Dilengkapi pula oleh tenaga ahli terpilih antara lain juru gambar, ahli ukur dan geograf. Salah satu di antara serdadu yang memiliki keahlian menggambar adalah Deen Johannes Rach, ia adalah juru gambar asal Denmark pada masa Hindia Belanda, berkat keahliannya .
Saat ini, kata Rachmat, bisa disaksikan keadaan lingkungan dan masyarakat masa kolonial di Batavia serta Buitenzorg.
“Kita juga bisa mengkaji lebih jauh keberadaan situs Batutulis dengan gambaran kondisi pada masa itu,” ucapnya.
Lanjut Rachmat, sosok lain yang dipandang sebagai pelopor seni lukis Indonesia modern yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman. Ia pernah belajar untuk pertama kali di Buitenzorg, sehingga tak ayal alam lingkungan Buitenzorg yang kaya oleh tanaman tropis telah memberi ciri khas lukisan alam Raden Saleh.
“Masa tua menjelang akhir hayat maestro pelukis kaliber dunia itu tinggal di Bogor. Dan pada akhirnya ia wafat serta dimakamkan di Empang, sebuah kawasan kampung saat itu di selatan Kota Bogor,” tutur Rachmat.

Baca juga: Mumi Blusukan di Sukasari Bogor Timur, Ada Apa?
Penggiat Benda Cagar Budaya itu mengatakan, untuk merunut lebih lengkap tradisi seni lukis, seni gambar komik, dan arsitektur di Kota Bogor, tak bisa dilewatkan peranan arsitek Friedrich Silaban, Ir. Soekarno, R.A. Kosasih serta pelukis gaya Mooi Indiè, Ernest Dezentje.
Mereka adalah sosok-sosok yang telah berjasa mengharumkan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka, Kota Sain dan Kota Budaya. Nama-nama dengan segala keahliannya itu telah membangun kharisma Kota Bogor. Seyogianya menjadi api semangat, dan inspirasi tiada henti generasi muda saat ini untuk berkiprah membangun Kota Bogor yang lebih maju serta berkembang.
Budayawan, Ki Agus Pranamulia menyebutkan bahwa seni merupakan bagian dari 7 unsur kebudayaan, yang pelakunya harus mempunyai tanggung jawab sosial kepada diri, keluarga dan masyarakat luas.
Karena, sambung Agus, inti dari Budaya Nusantara itu adalah makrifatulloh (mengenal dan bertemu dengan Yang Maha Kuasa). Maka pelaku seni termasuk seni lukis, rupa, pahat, seni tari dan musik, harus mengenal jati dirinya sendiri.
“Langkah awal mengenal diri adalah dengan mengenal saudara batinnya (dulur anu opat kalima Pancerna). Insya Allah akan muncul kesadaran akan karya-karya seni yang berasal dari rasa yangcsejati (Rasaning Sejati),” kata Ki Agus yang juga Dosen Universitas Nusa Bangsa dan Founder Yayasan Rasaning Rasa.

Baca juga: Peta Koalisi Pilkada Kota Bogor, 2 atau 3 Poros
Diki Sudrajat salah satu jurnalis di Bogor menceritakan bahwa dirinya selama menjadi jurnalis di Bogor belum pernah meliput event seni budaya yang bertaraf nasional. Sejauh ini hanya event seni rutinitas yang sudah diprogramkan oleh Pemerintah Kota Bogor.
“Jadi ke depan perlu dipikirkan bagaimana di Kota Bogor ada event seni bertaraf nasional, yang bisa menjadi agenda wisata dengan mengangkat seni seni yang lahir di Kota Bogor,” harapnya.
Diki juga berharap ke depan di Kota Bogor ada gedung kesenian yang refresentatif. “Di kota Bogor ada Gedung Kemuning Gading, namun kondisinya sudah tidak layak dijadikan sebagai tempat berkesenian,” kata Diki.
Kepada para seniman jalanan, Diki berpesan sebagai pekerja seni harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas.
“Kalian semua pekerja seni, kalian harus naik kelas yang tadinya mencari nafkah di jalanan harus bisa beralih sebagai pekerja seni di café-cafe atau tempat hiburan yang lebih terpandang,” pungkasnya.
Pitulasan #5 dihadiri Anto Baret yang dikenal sebagai Presiden Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), dan juga dihadiri dua Kepala Bidang pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor. Yaitu Kepala Bidang Kebudayaan, Dian Herdiawan, dan Kepala Bidang Ekonomi Kreatif, Ervin Yulianto.